Minggu, 27 November 2011

KMB-dermatitis aktopik

A.   
Pengertian
Dermatitis Atopik adalah suatu peradangan menahun pada lapisan atas kulit yang menyebabkan rasa gatal; seringkali terjadi pada penderita rinitis alergika atau penderita asma dan pada orang-orang yang anggota keluarganya ada yang menderita rinitis alergika atau asma. Ditandai oleh kulit yang kering, inflamasi dan eksudasi, yang kambuh-kambuhan. Kelainan biasanya bersifat familial, dengan riwayat atopi pada diri sendiri ataupun keluarganya. Atopi ialah kelainan dengan dasar genetik yang ditandai oleh kecenderungan individu untuk membentuk antibodi berupa imunoglobulin E (IgE) spesifik bila berhadapan dengan alergen yang umum dijumpai, serta kecenderungan untuk mendapatkan penyakit-penyakit asma, rhinitis alergika dan Dermatitis Atopik, serta beberapa bentuk urtikaria.
Dermatitis atopik adalah peradangan kulit yang melibatkan perangsangan berlebihan limfosit T dan sel mast. Tipe gatal kronik yang sering timbul, dalam keadaan yang sering disebut eksema. Kata “atopic” berhubungan dengan tiga group gangguan alergi yaitu asthma, alergi renitis (influensa), dan dermatitis atopik
B.     Etiologi
Penderita dermatitis atopik biasanya juga memiliki penyakit alergi lainnya.
Hubungan antara dermatitis dan penyakit alergi tersebut tidak jelas; beberapa penderita memiliki kecenderungan yang sifatnya diturunkan untuk menghasilkan antibodi secara berlebihan (misalnya immunoglobulin E) sebagai respon terhadap sejumlah rangsangan yang berbeda.
Dermatitis atopik ini penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk di antaranya yaitu:
1.      faktor genetic
2.      emosi
3.      trauma
4.      keringat
5.      faktor imunologis
6.      penggunaan sabun atau deterjen, bahan kimia (alkohol,astrigen) dapat memicu terjadinya rasa gatal pada kulit
7.      keringat berlebihan, disebabkan lingkungan yang bersuhu panas/dingin dan kelembaban tinggi atau rendah, sinar matahari
8.      menghirup tungau debu rumah, bulu binatang, serbuk sari, karpet, boneka berbulu.
Berbagai keadaan yang bisa memperburuk dermatitis atopik:
·         Stres emosional
·         Perubahan suhu atau kelembaban udara
·         Infeksi kulit oleh bakteri
·         Kontak dengan bahan pakaian yang bersifat iritan (terutama wol).
·         Pada beberapa anak-anak, alergi makanan bisa memicu terjadinya dermatitis atopik.

C.     Manifestasi Klinik
Dermatitis atopik kadang muncul pada beberapa bulan pertama setelah bayi lahir.
Pada wajah, kulit kepala, daerah yang tertutup popok, tangan, lengan, kaki atau tungkai bayi terbentuk ruam berkeropeng yang berwarna merah dan berair.
Dermatitis atopik dimulai sejak selama anak-anak. Dalam keadaan akut, yang pertama tampak kemerahan, lumpur dan banyak kerak. Pada bayi lesi kulit tampak pada wajah dan bokong. Pada anak yang lebih tua dan remaja lesi tampak lebih sering muncul di tangan dan kaki, di belakang lutut, dan lipat siku. Dermatitis seringkali menghilang pada usia 3-4 tahun, meskipun biasanya akan muncul kembali. Pada anak-anak dan dewasa, ruam seringkali muncul dan kambuh kembali hanya pada 1 atau beberapa daerah, terutama lengan atas, sikut bagian depan atau di belakang lutut.
Warna, intensitas dan lokasi dari ruam bervariasi, tetapi selalu menimbulkan gatal-gatal.
Rasa gatal seringkali menyebabkan penggarukan yang tak terkendali sehingga penyakitnya semakin buruk. Penggarukan dan penggosokan juga bisa merobek kulit dan menciptakan jalan masuk untuk bakteri sehingga terjadi infeksi. Dengan alasan yang belum pasti, penderita dermatitis atopik jangka panjang kadang mengalami katarak pada usia 20-30an tahun.
Pada penderita dermatitis atopik, herpes simpleks yang biasanya hanya menyerang daerah yang kecil dan ringan, bisa menyebabkan penyakit serius berupa eksim dan demam tinggi (eksim herpetikum). Gejala terbesar adalah pruritus hebat menyebabkan berulangnya peradangan dan pembentukan lesi, yang mrupakan keluhan utama orang mencari bantuaan. Biasanya gejala dan tanda pada dermatitis atopik mulai timbul ketika usia 6 bulan, jarang sebelum usia 8 minggu. Ruam berkeropeng yang berwarna merah dan berair. Rasa gatal yang amat sangat dan menimbulkan kelainan kulit yang kurang menarik dipandang. Dalam keadaan akut, yang pertama tampak kemerahan, lumpur dan banyak kerak. Pada bayi lesi kulit tampak pada wajah dan bokong. Pada anak yang lebih tua dan remaja lesi tampak lebih sering muncul di tangan dan kaki, di belakang lutut, dan lipat siku. Pruritus hebat menyebabkan berulangnya peradangan dan pembentukan lesi

D.    Patofisiologi
Dermatitis atopik merupakan sebuah penyakit kulit yang sangat pruritus yang dihasilkan oleh interaksi kompleks antara gen-gen kerentanan genetik yang menghasilkan gangguan skin barrier dalam sistem imun alami dan respons imunologi yang meningkat terhadap alergen dan antigen mikroba.
1.      Fungsi Skin Barrier yang Menurun
Dermatitis atopik terkait dengan penurunan fungsi skin barrier yang signifikan akibat berkurangnya gen cornified envelope, kadar ceramida yang berkurang, kadar enzim proteolitik yang meningkat, dan kehilangan air trans-epidermal yang meningkat. Barier epidermal juga bisa dirusak oleh keterpaparan terhadap protease eksogen dari tungau debu di rumah dan Staphylococcus aureus. Ini diperburuk oleh kurangnya inhibitor protease endogen tertentu pada kulit atopik (hipersensitif). Perubahan-perubahan epidermal ini kemungkinan berkontribusi bagi meningkatnya absorpsi alergen ke dalam kulit dan kolonisasi mikroba. Karena terjadi pada epikutaneous, yang berbeda dengan penyakit sistemik atau gangguan pada saluran udara, pemekaan terhadap alergen menghasilkan kadar respons imun alergik yang lebih tinggi, fungsi skin barrier yang menurun.
2.      Imunopatologi Dermatitis Atopik
Terdapat peningkatan jumlah LC pembawa IgE dalam epidermis, dan makrofage mendominasi infiltrat sel mononuklear dermal. Sel-sel mast meningkat jumlahnya tetapi umumnya bergranulasi penuh. Neutrofil-neutrofil  tidak terdapat pada lesi kulit dermatitis atopik bahkan jika terjadi peningkatan S. aureus baik kolonisasi maupun infeksinya. Jumlah eosinofil yang meningkat diamati pada lesi kulit dermatitis atopik kronis. Eosinofil ini mengalami sitolisis dengan pelepasan kandungan protein granula ke dalam dermis atas dari kulit lesi. Eosinofil dianggap berkontribusi bagi inflamasi alergik melalui sekresi sitokin dan mediator yang mengaugmentasi inflamasi alergik dan menginduksi cedera jaringan pada dermatitis atopik melalui produksi intermediet oksigen reaktif dan pelepasan protein-protein granula toksik.
3.      Sitokin dan Chemokin
Dermatitis atopik akut terkait dengan produksi sitokin tipe T helper 2 (Th2), utamanya IL-4 dan IL-13, yang memperantarai perubahan isotipe imunoglobulin menjadi sintesis IgE, dan meningkatkan ekspresi molekul-molekul adhesi pada sel-sel endotelium. Berbeda dengan itu, IL-5, terlibat dalam perkembangan eosinofil dan kelangsungannya, dan mendominasi dalam dermatitis atopik kronis.
Perekrutan selektif sel-sel Th2 yang mengekspresikan CCF4 diperantarai oleh chemokin asal makrofage dan timus dan sitokin teregulasi aktivasi, keduanya meningkat pada dermatitis atopik. Keparahan dermatitis atopik telah dikaitkan dengan besarnya timus dan kadar sitokin teregulasi teraktivasi. Ekspresi yang meningkat dari chemokin CC, makrofage, protein-4 kemoatraktan, eotaksin, dan RANTES (yang diregulasi pada sel-T normal aktivasi diekspresikan dan disekresikan) berkontribusi bagi infiltrasi makrofage, eosinofil, dan sel-sel T menjadi lesi kulit dermatitis atopik akut dan kronis.
Dibandingkan dengan kulit normal, kekeringan kulit pada dermatitis atopik karena ada penurunan kapasitas pengikatan air, kehilangan air yang tinggi di transepidermal, dan penurunan isi air. Pada bagian kehilangan air mengalami kekeringan yang lebih lanjut dan peretakan dari kulit, menjadi lebih gatal. Gosokan dan luka garukan dari kulit karena gatal merupakan respon dari beberapa keluhan kulit di klinik.
E.     Komplikasi
1.      Masalah-masalah okular
Pruritus intens-terkait diperburuk oleh keterpaparan terhadap pengiritasi, cahaya, atau keringat. Keratikonus merupakan sebuah deformitas konikal pada kornea yang diyakini disebabkan oleh penggarukan mata secara terus menerus oleh pasien yang mengalami dermatitis atopik dan rhinitis alergi. Katarak dilaporkan terjadi pada sampai 21 persen pasien yang mengalami dermatitis atopik parah. Screening rutin untuk katarak pada pasien dengan dermatitis atopik mungkin tidak produktif selama efek samping potensial dari terapi steroid tidak dipertimbangkan.
2.      Infeksi
Dermatitis atopik bisa diperparah oleh infeksi virus pada kulit yang bisa mencerminkan cacat lokal pada fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah herpes simpleks, yang bisa mengenai pasien usia berapa pun, menghasilkan erupsi Kaposi variselliformis atau ekzema herpeticum. Setelah masa inkubasi 5 sampai 12 hari, lesi-lesi ganda, gatal vesikulopustular muncul dengan pola yang menular; lesi-lesi vesikular mengalami umbilikasi, cenderung terkikis dan membentuk perdarahan atau berkerak. Erosi yang sangat nyeri akan dihasilkan. Lesi-lesi bisa bergabung menjadi area perdarahan yang luas dan bisa mengenai seluruh tubuh.
Pada pasien demartitis atopik, vaksinasi penyakit cacar (atau bahkan keterpaparan terhadap individu yang divaksinasi) bisa menyebabkan erupsi parah yang tampak sangat mirip dengan ekzema herpetikum. Sehingga, pada pasien yang mengalami dermatitis atopik, vaksinasi dikontraindikasikan selama tidak ada risiko cacar yang jelas. Disamping itu, keputusan tentang vaksinasi anggota keluarga harus mempertimbangkan potensial vaksinatum ekzema dalam kontak rumah tangga.
Infeksi jamur superfisial juga lebih umum pada individu atopik dan bisa berkontribusi bagi pemburukan dermatitis atopik. Pasien-pasien dengan dermatitis atopik memiliki prevalensi yang meningkat untuk infeksi Trichophyton rubrum dibanding dengan kontrol yang non-atopik. Telah banyak yang meneliti peranan M. Furfur (Pityrosporum ovale atau P. orbiculare) pada dermatitis atopik. M. Furfur umum ditemukan dalam daerah-daerah seborheik kulit. Antibodi IgE terhadap M. Furfur cukup umum ditemukan pada pasien dermatitis atopik dan paling sering pada pasien yang mengalami dermatitis kepala dan leher. Peranan potensial dari M. Furfur serta infeksi dermatofita lainnya lebih lanjut didukung oleh pengurangan keparahan dermatitis atopik pada pasien-pasien seperti ini setelah pengobatan dengan agen-agen antijamur.
Streptococcus aureus ditemukan pada lebih dari 90 persen lesi kulit dermatitis atopik. Pengerakan yang berwarna seperti madu, folikulitis, dan pyoderma adalah indikator dari infeksi kulit bakterial sekunder, biasanya karena S. aureus, yang memerlukan terapi antibiotik. Limfadenopati regional cukup umum pada pasien seperti ini.
3.      Dermatitis Tangan
Pasien-pasien yang mengalami dermatitis atopik sering mengalami dermatitis tangan non-spesifik dan mengiritasi. Ini biasanya diperburuk oleh pembasahan yang berulang dan dengan pencucian tangan menggunakan sabun kasar, deterjan, dan disinfektan. Individu atopik dengan pekerjaan yang melibatkan pekerjaan basah rentan untuk mengalami dermatitis tangan pada tempat kerja.
4.      Dermatitis Eksfoliatif
Pasien-pasien yang memiliki keterlibatan kulit ekstensif bisa mengalami dermatitis eksfoliatif. Ini terkait dengan kemerahan menyeluruh, scaling, weeping, pengerakan, toksisitas sistemik, limfadenopati, dan demam. Ini biasanya disebabkan oleh superinfeksi, misalnya, dengan S. aureus penghasil toksin atau infeksi herpes simpleks, iritasi kulit yang terus menerus, atau terapi yang tidak cocok. Pada beberapa kasus, penghentian glukokortikoid yang digunakan untuk mengendalikan dermatitis atopik parah bisa menjadi faktor pemicu untuk eritroderma eksfoliatif.
F.      Pengkajian
a.       Identitas Pasien
b.      Keluhan Utama.Biasanya pasien mengeluh gatal, rambut rontok.
c.       Riwayat Kesehatan.
1.      Riwayat Penyakit Sekarang :Tanyakan sejak kapan pasien merasakan keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dantindakan apa saja yang dilakukan pasien untuk menanggulanginya.
2.      Riwayat Penyakit Dahulu :Apakah pasien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
3.      Riwayat Penyakit Keluarga :Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit kulit lainnya.
4.      Riwayat Psikososial :Apakah pasien merasakan kecemasan yang berlebihan. Apakah sedang mengalami stress yangberkepanjangan.
5.      Riwayat Pemakaian Obat :Apakah pasien pernah menggunakan obat-obatan yang dipakai pada kulit, atau pernahkah pasientidak tahan (alergi) terhadap sesuatu obat. 
G.    Pemeriksaan Fisik
Pengkajian kulit melibatkan seluruh area kulit, termasuk membrane mukosa, kulit kepala dan kuku. Prosedur Utama Inpeksi dan palpasi :
      Memerlukan ruangan yang terang dan hangat
      Penlight dapat digunakan untuk menyinari lesi
      Pasien dapat melepaskan seluruh pakaianya dan diselimuti dengan benar
      Sarung tangan harus selalu dipakai ketika melakkan pemeriksaan kulit
v  Tampilan umum dikaji :
      Warna
      Suhu
      Kelembaban
      Kekeringan
      Tekstur kulit (kasar atau halus)
      Lesi
      Vaskularitas
      Mobilitas
      Kondisi kuku dan rambut
      Turgor kulit
      Edema
      Elastisitas kulit
v  Pemeriksaan Dermatitis atopik
a.       Tanda-tanda vital
Suhu :
-
Nadi :
-
TD :-
RR :
-
b.      Keadaan umum\
Keluhan peradangan menahun pada lapisan atas kulit yang menyebabkan rasa gatal dan prnyakitnya kambuh jika mengalami emosional atau perubahan suhu/ kelembaban udara
Pemeriksaan Head to Toe
1.      Kulit dan rambut
a.       Inspeksi :
Warna kulit : normal, ada/tidaknya lesi
Jumlah rambut :
ada/tidak rontok
Warna rambut : hitam
Kebersihan rambut :
bersih/kotor
b.      Palpasi :
Suhu
:-
Warna kulit, turgor ku
lit, kelembaban, ada/tidaknya edema, ada/tidaknya lesi.
2.      Kepala
a.       Inspeksi :
·         Bentuk simetris antara kanan dan kiri
·         Bentuk kepala lonjong, tidak ada lesi
b.      Palpasi :
Tidak ada nyeri tekan
3.      Mata
a.       Inspeksi : bentuk bola mata, simetris antara kanan dan kiri, warna sklera, warna konjungtiva.
4.      Telinga
a.       Inspeksi : ukuran , simetris antara kanan dan kiri, ada/tidak ada serumen pada lubang telinga
b.      Palpasi : tidak ada benjolan
5.      Hidung
a.       Inspeksi : simetris, ada/tidak ada secret, ada/tidak ada lesi
b.      Palpasi : ada/tidak ada benjolan
6.      Mulut
a.       Inspeksi : bentuk mulut simetris, kebersihan gigi dan lidah
7.      Leher
a.       Inspeksi : bentuk leher, ada/tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
b.      Palpasi : suara jelas, tidak sesak
8.      Paru
a.       Inspeksi : simetris antara kanan dan kiri
b.      Palpasi : getaran rocal femitus sama antara kanan dan kiri
- Perusi :
normal
- Auskultasi : normal
9.      Abdomen
a.       Inspeksi : perut datar, simetris
b.      Palpasi : getaran rocal femitus sama antara kanan dan kiri
10.  Ekstermitas
a.       Atas : tangan (sikut,ketiak dan pergelangan terlihat terowongan tungau)
b.      Bawah : lengkap normal
H.    Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pemeriksaan darah èDarah perifer ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar IgE.
2.      Pengerokan kulit è normal :Dermatografisme putih penggoresan pada kulit normal akan menimbulkantiga respons , abnormal :yakni berturut-turut akan terlihat garis merah ditempat penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, dan edema timbul sesuah beberapa menit. Penggoresan pada pasien atopik akan bereaksi berlainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2-5 menit, edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.
3.      Percobaan asetilkolinè. Suntikan secara IC 1/5000 akan menyebabkan hiperemi pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopik akan timbul vasokonstriksi, terlihat kepucatan selama 1 jam.
4.      Percobaan histamin. è Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi, eritema akan berkurang dibandingkan dengan orang lain sebagai kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral tampak eritema pada kulit normal.
I.       Penatalaksanaan
Penanganan DA memerlukan pendekatan secara sistematik dan multidimensi oleh karena faktor penyebab tidak diketahui dengan pasti. Untuk itu diperlukan tindakan untuk mengatasi kekeringan kulit yang timbul, menghilangkan inflamasi, mengurangi gatal, mengidentifikasi dan menghilangkan faktor pencetus dan berbagai pengobatan yang baru.
1.      HIDRASI KULIT
Untuk mengatasinya dapat dilakukan :
a)      Hidrasi kulit berupa mandi atau berendam 2 – 3 kali sehari dengan air hangat yang dicampur dengan minyak selama paling sedikit 20 menit. Hidrasi dengan mandi air hangat atau balut basah dimaksudkan untuk dapat meningkatkan penetrasi kortikosteroid topikal di daerah transepidermal. Cara balut basah ini dianjurkan untuk DA yang berat atau kronik sebagai perawatan kulit kemudian diikuti dengan penggunaan emolient / minyak secara oklusif (emolient adalah produk untuk melembabkan dan melembutkan kulit), ini efektif dalam membantu mempersiapkan perbaikan kembali barier dari stratum korneum dan mengurangi keperluan steroid topikal. Akan tetapi kadang-kadang pula emollient oklusif ini tidak disukai karena mempengaruhi fungsi kelenjar keringat dan dapat menyebabkan berkembangnya folikulitis
b)      Karena kulit penderita DA kering (xerosis), sebaiknya diberikan salap lipofilik (emulsi air dalam minyak) daripada krim hidrofilik (emulsi minyak dalam air). Krim dan lotion dapt mengiritasi kulit karena menguapnya air ataupun karena iritasi bahan tambahan dalam krim.
c)      Menghindari penggunaan berbagai bahan yang dapat menyebabkan iritasi kulit terutama oleh karena kulit penderita selalu dalam keadaan kering. Bahan yang dimaksudkan seperti sabun deterjen yang kuat, bahan pewangi, bahan pemutih pakaian.
d)     Kelembaban ruangan dipertahankan 50 – 60% untuk menghindari pengeringan kulit.
2.      KORTIKOSTEROID TOPICAL
Kortikosteroid topikal merupakan pilihan yang utama untuk mengurangi inflamasi pada penderita DA. Penggunaan steroid topikal, yaitu suatu bahan yang bekerja dan bersifat anti-inflamasi merupakan dasar terapi untuk pengobatan lesi-lesi eksematosa. Akan tetapi dalam penggunaannya akan tergantung pada lokasi dan keadaan lesi kulit serta aman untuk digunakan sehingga penderita harus diinstruksi secara hati-hati untuk menghindari potensi efek samping, terutama potensi kuat harus dihindarkan dari wajah, genitalia, dan daerah intertrigo dan secara umum preparat potensi ringan direkomendasikan pada daerah ini. Oleh karena itu penggunaan steroid topikal ini ditekankan hanya pada lesi DA saja sedangkan pada kulit yang tidak terlibat cukup dengan emolient untuk menghindari kulit kering dan proses inflamasi. Kegagalan kadang-kadang terjadi oleh karena tidak adekuatnya pemberian glukokortikoid ini
Ada 7 golongan kortikosteroid berdasarkan potensinya yang mempunyai potensi efeksamping yang berbeda pada penggunaannya, terutama jika digunakan dalam jangka panjang. Untuk potensi yang sangat kuat maka hanya digunakan untuk yang sangat singkat dan hanya pada lokasi yang mengalami likenifikasi berat, tidak untuk wajah dan daerah lipatan. Sehingga untuk maintenancenya digunakan potensi rendah dan emolient untuk mencapai hidrasi kulit. Steroid potensi sedang dapat digunakan untuk periode yang lebih lama dan ditujukan penggunaannya untuk lesi di badan dan ekstremitas. Jangan menggunakan sediaan bentuk gel dengan basis propylene glycol karena akan menyebabkan iritasi sebab penggunaannya memberikan efek kekeringan kulit, sedangkan penggunaannya hanya terbatas kepala dan daerah berambut.
Beberapa kortikosteroid topikal yang terbaru dianggap mampu untuk menghambat migrasi eosinofil ke jaringan inflamasi dan menghambat fungsi sel T dalam mengatur sitokin yang mempengaruhi eosinofil sehingga akan memblok reaksi hipersensitivitas yang ada pada DA. Karena pengobatan pada DA ini dapat berlangsung bertahun-tahun, sebaiknya hindari pemakaian kortikosteroid topikal berlama-lama, karena dapat menimbulkan komplikasi dan dapat terjadi superinfeksi bakteri dan virus pada lesi eksemanya. Pemakaian kortikosteroid bergantian dengan tanpa steroid pada pagi dan malam hari atau selang satu hari atau dua hari (interval therapy).
Kortikosterod sistemik juga dapat dipertimbangkan penggunaannya sebagai pilihan terakhir bila mengenai mukosa dan pada tipe dewasa dengan kasus eksaserbasi yang berat serta tidak berhasil dengan topikal, akan tetapi sangat jarang digunakan pada tipe bayi dan anak oleh karena efek sampingnya dan reaksi rebound bila penggunaannya dihentikan. Penggunaannya hanya dalam waktu yang singkat dan tapering
3.      ANTI PRURITUS
Pengobatan pruritus pada DA secara primer harus ditujukan langsung pada penyebab dasarnya. Mengurangi inflamasi pada kulit dan kekeringannya dengan topikal kortikosteroid dan hidrasi kulit seringkali secara simtomatik juga akan mengurangi pruritus.
Antihistamin sistemik secara primer bekerja dengan membloking reseptor H1 di dermis dan menempati reseptor itu secara kompetitif sehingga mengurangi gatal yang timbul oleh pelepasan histamin. Antihistamin yang sering digunakan adalah antihistamin klasik dengan efek sedatif dan antihistamin yang non sedatif.
Pruritus ini biasanya lebih berat pada malam hari, sehingga anti histamin dengan efek sedatif akan sangat membantu bila digunakan pada saat tidur. Efek pemblokiran oleh antihistamin pada reseptoir histamin H1 dan H2 dapat diperoleh dengan menggunakan dosis oral 10 – 75 mg pada malam hari atau lebih 75 mg 2 kali sehari pada penderita dewasa. Pada anak jangan diberikan antihistamin yang non sedatif seperti cefterizine, loratadin, astemizol, terfenadin (bersama dengan eritromisin karena bisa menimbulkan aritmia).
Bila pada lesi timbul papel eritem urtikaria dengan pruritus yang sangat berat biasanya menghilang dalam 1 – 2 jam. Papel akan bersatu membentuk yang lebih besar sehingga didiagnosis salah menjadi urtikaria kolinergik. Pengobatan antikolinergik dapat menolong pada anak dan diberikan oksiphencylamine 5 – 10 mg diberikan 2 – 3 kali/hari efektif untuk mengurangi pruritus. Makanan dengan cepat meningkatkan patogenesis pada DA khususnya pada bayi dan anak. Bukti makanan sebagai penyebabnya adalah dengan meningkatnya IgE pada reaksi tes kulit sedang pada patch test menginduksi lesi eksematosa apa beberapa penderita DA. Beberapa penelitian mrenganjurkan untuk menghindari makanan tertentu namun tidak pada penderita yang sembuh sempurna. Demikian pula untuk debu rumah, dermatophgoides pteronyssinus yang ada pada DA untuk dihindari. Dari penelitian juga ditemukan bahwa antihistamin cetirizin ini ternyata juga berfungsi sebagai anti-inflamasi dengan cara menghambat ekspresi dari molekul adhesi pada proses alergik yang diperantarai IgE dan peranan limfosit Th-2, sehingga pengumpulan sel radang dan infiltrasinya ke jaringan yang menyebabkan inflamasi pada DA menjadi terhambat.
4.      IDENTIFIKASI DAN ELIMINASI FAKTOR PENCETUS
Berbagai faktor dapat menjadi pencetus DA dan bersifat individual, oleh karena itu perhatian harus ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengeliminasi faktor-faktor tersebut.
a.       Faktor umum :  Penderita DA lebih rentan terhadap iritan dibandingkan orang normal sehingga perlu diidentifikasi dan dieliminasi faktor yang memperberat dan mencetuskan siklus gatal-garuk, antara lain:
1)      Gunting kuku untuk mengurangi abrasi pada kulit.
2)      Sabun / deterjen : harus bersifat menghilangkan minyak seminimal mungkin, pH netral dan tidak bersifat iritan.
3)      Bahan Kimia : alkohol dan astringen pada produk kosmetik dapat menyebabkan kulit kering.
4)      Pakaian : baju harus dicuci terlebih dahulu untuk mengurangi formaldehid dan bahan kimia lainnya dan dibilas sebersih mungkin karena deterjen yang tersisa dapat bersifat iritan, begitu juga pakaian berbulu / kasar dapat menyebabkan iritasi.
5)      Lingkungan : panas, kelembaban dan keringat juga dapat merangsang gatal.
6)      Olahraga : keringat dapat merangsang gatal.
7)      Sinar matahari : Walaupun sinar matahari dapat bermanfaat pada sebagian penderita DA sebaiknya menggunakan tabir surya yang non iritatif.
b.      Alergen Spesifik
Yang telah terbukti dapat mencetuskan eksaserbasi DA antara lain:
1)      Makanan : makanan sering dianggap berperan dalam patogenesis DA terutama pada bayi dan anak kecil. Makanan yang dicurigai berpotensi sebagai pencetus diidentifikasi melalui anamnesis dan pemeriksaan laboratorium / uji kulit, namuin hasilnya seringkali tidak berkorelasi dengan gejala klinis sehingga dikonfirmasi dengan eliminasi makanan namun hal ini dapat menimbulkan malnutisi. Masih diperdebatkan apakah pantang makanan tertentu pada DA bermanfaat.
2)      Tungau debu rumah : pada penderita DA yang alergi dengan tungau debu rumah diupayakan untuk menghilangkannya. Anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih sensitive terhadap aeroalergen lingkungan dibandingkan dengan bayi dan anak kecil.
c.       Stres Emosional
Walaupun bukan penyebab tetapi stres emosional dapat menyebabkan kekambuhan. Stres ini mengakibatkan berbagai variasi perkembangan lingkungan anak sehingga konflik dengan orang tua, di sekolah dan tempat lainnya dapat memicu eksaserbasi gatal pada penderita, sehingga diperlukan diskusi masalah tersebut kepada pihak guru dan orang tua.
Dari penelitian ditemukan bahwa pada kebanyakan anak penderita DA yang tidak sembuh dihubungkan denga faktor psikis dan dalam penanganan yang efektif dari keadaan ini maka faktor psikis harus mendapat perhatian. Pada kondisi dimana penderita sangat dipengaruhi oleh faktor stresemosional maka perlu dilakukan evaluasi psikologis ataupun konseling serta pemberian obat penenang yang mungkin dapat membantu.
d.       Infeksi
Penderita DA rentan terhadap berbagai mikroba dan infeksi ini dapat menjadi pencetus atau memperberat penyakitnya. Infeksi yang dapat ditemukan adalah
1)      Staphylococcus aureus : kuman ini terkolonisasi di kulit penderita DA dan sukar dihilangkan. Infeksi kuman ini menimbulkan kekambuhan, dalam keadaan seperti ini dapat diberikan:
a.       Eritromisin dan makrolid lainnnya (azitromisin, klaritromisin) bermanfaat bila kumannya belum resisten.
b.      Penisilin yang resisten penisilinase (dikloksasilin, kloksasilin) diberikan bila resisten makrolid.
c.       Sefalosporin dapat untuk Staphylococcus maupun Streptococcus.
d.      Mupirosin topikal, diberikan pada lesi impetiginisata, bila luas berikan antibiotic sistemik.
2)      Herpes simpleks : penderita DA rentan terhadap infeksi virus ini, bila ini terjadi kortikosteroid topikal untuk sementara diberikan dan diobati dengan anti virus (asiklovir 20 – 30 mg/kgBB/ hari).
3)      Dermatofitosis : dapat merupakan komplikasi dan dapat berperan dalam kekambuhan penyakit. Diobati dengan antijamur topical maupun sistemik
5.      PENGOBATAN NONSTEROID
Pengobatan ini dapat berupa antiflogistik antimikrobal :
a.       Preparat Tar :
Ø  Pix lithantracis (5 – 10%).
Ø  Liquor carbones detergens (2 – 20%).
Ø  Ichthamol 2 – 10%.
b.      Antiseptik.
c.       Antibiotik.
d.      Aminoglikosid : gentamisin, basitrasin.
e.       Makrolid : eritromisin, klindamisin.
f.        Klortetrasiklin 2 – 5%.
g.      Asam fusidat.
Harus diingat pengobatan dengan preparat tar jangan diberikan pada eksema yang eksudatif dan eksema dengan infeksi sekunder. Juga hindari paparan dengan sinar matahari.
6.      PENGOBATAN LAIN
Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai patogenesis DA, banyak pengobatan yang telah dicoba digunakan dengan hasil yang bervariasi, namun pengobatan tersebut belum dapat dianjurkan untuk diberikan kepada sebagian besar penderita DA karena kortikosteroid topikal dan kelembababan kulit masih merupakan pengobatan utama.
Beberapa imunomodulator diduga dapat berguna pada pengobatan DA seperti :
a.       Interferon-gamma (INF-γ)
Kasus terbaru yang ditemukan pada 24 penderita dengan DA yang diterapi dengan human INF-γ selama 2 tahun, menunjukkan keamanan dan berhasil untuk terapi DA.
b.      Immunosupression (FK 506)
v  Kalsineurin topikal inhibitors. Kortikosteroid topikal merupakan pengobatan topikal utama untuk DA karena merupakan imunosupressan kuat dan anti inflamasi. Tetapi, steroid topikal memberikan efek local seperti atrofi dermal, striae, telangiektasis, dermatitis perioral, erupsi akne, biasanya efek sistemik seperti penekanan pusat kelenjar hipotalamus. Pengobatan imunosupresan topikal nonsteroid merupakan pengobatan lama dalam terapi DA. Kalsineurin topical inhibitor adalah bagian penting dari pengobatan karena manjur untuk DA, berperan kuat pada percobaan klinik dan penggunaan ekstensif di klinik.
Kalsineurin topikal inhibitors diberikan setelah adanya keperluan siklosporin A sistemik, berpotensial menekan sel T selain itu digunakan juga untuk pengobatan dermatitis eksematosa dan psoriasis.
Siklosporin A biasanya digunakan untuk pencegahan terhadap penolakan terhadap transplantasi organ setelah transplantasi organ padat dan sebagai imunosupresif sistemik untuk keadaan berat. Siklosporin A tidak digunakan sebagai pengobatan topikal, kemungkinan karena ukuran lesi yang luas, dimana hal tersebut menghalangi kemampuannya untuk penetrasi ke kulit. Pimecrolimus merupakan ascomysindengan kalsineurin inhibitor potensial diberikan khusus untuk mengobati keadaan kulit yang meradang, hal ini merupakan hasil penelitian dari ratusan perusahaan FK 506).
1)      Tacrolimus (prograf).
Tacrolimus adalah lakton makrolid yang diisolasi dari Streptomyces tsukubaensis. Tacrolimus menghambat aktivasi beberapa sel yang terlibat pada DA termasuk sel T, sel Langerhans, sel mast dan keratinosit. Penggunaannya secara oral untuk mencegah penolakan transplantasi organ Obat ini dapat juga digunakan secara topikal. Penggunaan secara topikal efektif untuk terapi DA berat dengan efek samping yang ringan. Biopsi kulit setelah pengobatan dengan tacrolimus topical menunjukkan adanya pengurangan sel T dan infiltrat eosinofil, biasanya juga disertai pengurangan jumlah sel langerhans inflamasi sel epidermal dendritik. Tacrolimus 0,03% dan 0,1% penggunaannya aman dan efektif pada anak-anak (lebih dari 2 tahun) dan umur dewasa dengan DA. Hasil penelitian pada 13.000 orang penderita menunjukkan data bahwa obat ini aman sampai dengan 4 tahun penggunaan tacrolimus ini.
2)      Derivat Macrolatum Ascomycin (SDZ ASM 981)
Yang merupakan derivat macrolactam ascomycin adalah pimercrolimus (Elidel krim, SDZ ASM 981). Obat ini adalah turunan streptomyces hygroscopitus var ascomyceticus, merupakan penghambat sitokin inflamasi yang bekerja selektif, banyak digunakan pada penyakit-penyakit kulit inflamasi. Pimercrolimus bekerja dengan mempengaruhi stimulasi sel T yang kita ketahui banyak berperan dalam patogenesis DA. Stimulasi sel T melalui sel penyaji antigen dan menghambat sitokin sel Th-1 seperti IL- 2 dan INF-γ serta sitokin Th-2 seperti IL-4 dan IL-10. Selain itu pimercrolimus juga mencegah pelepasan mediator inflamasi sel mas yang teraktifasi.6,21,22 Hasil penelitian menunjukkan manfaat terapeutik yang signifikan dalam menghilangkan gatal dan eritem pada kelompok yang mendapat pimecrolimus. Dievaluasi konsentrasi pimercrolimus 1% dalam darah dan toleranbilitasnya selama pengobatan topikal didapatkan konsentrasi pimecrolimus dalam darah tetap rendah dan tidak terakumulasi oleh karena itu obat ini tidak dihubungkan dengan efek samping obat yang biasa ditemukan,19,20,23 obat ini juga tidak menimbulkan atropi kulit yang biasa ditemukan pada penggunaan kortikosteroid topikal.21 Dari hasil penelitian Stuetz A et al, pimecrolimus dapat digunakan pada pengobatan jangka pendek maupun jangka panjang pada orang dewasa, anak-anak maupun bayi berumur 3 bulan. Pimecrolimus dapat mengatasi gatal dalam 3 hari dan penderita tidak mengalami eritem dalam 6 – 12 bulan.21,23
v  Azathioprin (imuran) mungkin efektif untuk penderita DA Terapi dengan imunosupressan ini mungkin lebih mahal dari terapi siklosporin dan tacrolimus
7.      FOTOTERAPI
Fototerapi efektif untuk terapi DA yang sukar diatasi / rekalsitran. Terapi ini mungkin terdiri atas ultraviolet A (UV-A), ultraviolet B (UV-B) atau kombinasi. Fotokemoterapi psoralen ditambah UV-A (psoralen plus UV-A / PUVA) mungkin merupakan terapi pilihan pada penderita dengan DA berat.a
J.       Askep
v  Data subjektif:
·         klien mengeluh peradangan menahun pada lapisan atas kulit yang menyebabkan rasa gatal
·         Klien mengatakan penyakitnya kambuh jika mengalami sterss emosial atau perubahan suhu atau kelembaban udara
v  Data objektif: -
v  Diagnose keperawatan 1
·         Dx. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan peradangan pada kulit
v  Tujuan :
·         Kulit klien dapat kembali normal.
v  Kriteria hasil :
·         Klien akan mempertahankan kulit agar mempunyai hidrasi yang baik dan turunnya peradangan, ditandai dengan
·         mengungkapkan peningkatan kenyamanan kulit,
·         berkurangnya derajat pengelupasan kulit,
·         berkurangnya kemerahan,
·         berkurangnya lecet karena garukan,
·         penyembuhan area kulit yang telah rusak
Intervensi
Rasional
1.      Mandi paling tidak sekali sehari selama 15 – 20 menit. Segera oleskan salep atau krim yang telah diresepkan setelah mandi. Mandi lebih sering jika tanda dan gejala meningkat
2.      Pengolesan krim pelembab selama 2 – 4 menit setelah mandi untuk mencegah penguapan air dari kulit.
Gunakan air hangat jangan panas.
3.      Gunakan sabun yang mengandung pelembab atau sabun untuk kulit sensitive. Hindari mandi busa.
4.      Oleskan/berikan salep atau krim yang telah diresepkan 2 atau tiga kali per hari.
1.      dengan mandi air akan meresap dalam saturasi kulit. Pengolesan krim pelembab selama 2 – 4 menit setelah mandi untuk mencegah penguapan air dari kulit
2.      air panas menyebabkan vasodilatasi yang akan meningkatkan pruritus.
3.      sabun yang mengandung pelembab lebih sedikit kandungan alkalin dan tidak membuat kulit kering, sabun kering dapat meningkatkan keluhan
4.      salep atau krim akan melembabkan kulit.

v  Diagnosa Keperawatan 2 :
·         Dx. Resiko kerusakan kulit berhubungan dengan terpapar alergen
v  Tujuan :
·         Tidak terjadi kerusakan pada kulit klien
v  Kriteria hasil :
·         Klien akan mempertahankan integritas kulit, ditandai dengan menghindari alergen
Intervensi
Rasional
  1. Ajari klien menghindari atau menurunkan paparan terhadap alergen yang telah diketahui.
  2.  Baca label makanan kaleng
  3. Hindari binatang peliharaan
  4. Gunakan penyejuk ruangan (AC) di rumah atau di tempat kerja, bila memungkinkan.

1.      menghindari alergen akan menurunkan respon alergi
2.      agar terhindar dari bahan makan yang mengandung allergen
3.      jika alergi terhadap bulu binatang sebaiknya hindari memelihara binatang atau batasi keberadaan binatang di sekitar area rumah
4.      AC membantu menurunkan paparan terhadap beberapa alergen yang ada di lingkungan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;