Minggu, 27 November 2011

KMB-Cedera Medula Spinalis

A.    Definisi cidera medulla spinalis
Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001). Cidera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :
-          komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)
-          tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cidera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.
Etiologi
Penyebab utama Cedera Medula Spinalis (CMS) lumbal adalah trauma, dan dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra, seperti arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur patologik, infeksi, osteoporosis, kelainan kongenital, dan gangguan vaskular. Penyebab trauma spinal lumbal yang paling banyak dikemukakan adalah kecelakaan lalu lintas, olah raga, tembakan senapan, serta bencana alam (Islam, 2006)
Manifestasi Klinis
Cedera medula spinalis lumbal dapat menyebabkan gambaran paraplegia. Tingkat neurologik yang berhubungan akan mengalami paralisis sensori dan motorik total yang menyebabkan gangguan kontrol kandung kemih (retensi dan inkontinensia) dan usus besar, penurunan tonus vasomotor, dan penurunan tekanan darah yang diawali dengan resistensi vaskuler perifer (Brunner dan Suddarth, 2001). Dan menurut sumber lain menyatakan sebagai berikut:
  • ·         nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena
  • ·      paraplegia
  • ·         tingkat neurologik
  • ·         paralisis sensorik motorik total
  • ·         kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)
  • ·         penurunan keringat dan tonus vasomoto
  • ·         penurunan fungsi pernafasan
  • ·        gagal nafas (Diane C. Baughman, 200 : 87)

B.      Patofisiologi
            Kerusakan medulla spinalis berkisar dari komosis sementara (dimana pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan kompresi substansi medulla (baik salah satu atau dalam kombinasi), sampai transeksi lengkap medulla (yang membuat pasien paralisis di bawah tingkat cedera). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis darah dapat merembes ke ekstradural, subdural atau daerah subarakhnoid pada kanal spinal. Segera setelah terjadi kontusion atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh darah medulla spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan mielin dan akson.

Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medulla spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medulla tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat antiinflamasi lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya, masuk kedalam kerusakan total dan menetap. 

C.    Komplikasi
  • ·         Neurogenik shock.
  • ·         Hipoksia.
  • ·         Gangguan paru-paru
  • ·         Instabilitas spinal
  • ·         Orthostatic Hipotensi
  • ·         Ileus Paralitik
  • ·         Infeksi saluran kemih
  • ·         Kontraktur
  • ·         Dekubitus
  • ·         Inkontinensia blader
  • ·         Konstipasi
1.   Komplikasi
• Syok neurogenik versus syok spinal
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung. Keadaan ini menyebapkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ektremitas bawah, terjadi penumpukan darah dan sebagai konsekuensinya terjadi hipotensi. Sebagai akibat kehilangan cardiac sympatik tone. Penderita akan mengalami bradikardia atau setidak –tidaknya gagal untuk menjadi takhikardia sebagai respon dari hipovolemia. Pada keadaan ini tekanan darah tidak akan membaik hanya dengan impus saja dan usaha untuk menormalisasi tekanan darah akan menyebabkan kelebihan cairan dan udema paru. Tekanan darah biasanya dapat diperbaiki dengan penggunaan vasopresor, tetapi perfusi yang adekuat akan dapat dipertahankan walaupun tekanan darah belum normal.
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya repleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit, walaupun tidak seluruh bagian rusak.
• Efek terhadap organ lain.
Hipoventilasi yang disebabkan karena paralysis otot interkostal dapat merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis didaerah servikal bawah atau torakal atas. Bila bagian atas atu tengah medulla spinalis didaerah servikal mengalami cedera, diagframa akan mengalami paralysis yang disebabkan segmen
C3 –C5 terkena, yang mempersarafi diagfragma melalui N. frenikus.
• Trombosis vena profunda adalah komplikasi umum pada cedera medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal
• Komplikasi lain adalah hiperfleksia autonomic(dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak,kongesti nasal,piloereksi, bradikardi dan hipertensi), komplikasi lain yaitu berupa dekubitus dan infeksi(infeksi urinarius,dan tempat pin ).

·         Kebanyakan kematian pada cedera medulla spinalis akut disebabkan karena komplikasi dan berhubungan dengan defisit neurologis.4  Kerusakan neurologik pada cervical bagian atas dapat menyebabkan pasien bergantung pada ventilator.Komplikasi akut dibagi menjadi komplikasi hiperakut dan komplikasi sub akut seperti pada tabel berikut.

Tabel 2. Komplikasi  hiperakut cedera medulla spinalis
_____________________________________________________________________
·         Hipotensi / shock
            Efek simpatektomi
            Perdarahan
·         Bradikardi
            Dengan atau tanpa hipovolemi
·         Hipotermi atau demam
            Dengan atau tanpa infeksi
·         Hipoventilasi / gagal napas
            Occiput-C2 : Kehilangan seluruh fungsi respirasi, kelemahan n.cranialis
            C3-C4 : Diafragma dan interkostal; mempertahankan fungsi farings dan larings
            C5-T1 : Interkostal, mempertahankan diafragma
            T2-T12 : Kehilangan fungsi interkostal bervariasi (hati-hati berhubungan dengan
   ARDS sekunder pada aspirasi dan tenggelam pada saat cedera)
·         Komplikasi iatrogenik
            Dislokasi dengan cedera medulla spinalis sekunder
            Decubitus karena prolong spine board maintenance
·         Perdarahan gastro intestinal
            Dengan atau tanpa pemberian steroid
            Dengan atau tanpa pemberian dosis kecil heparin

·         Ileus
            Distensi Abdominal / vomitus
            Aspirasi
________________________________________________________________________

Tabel 3. Komplikasi sub akut cedera medulla spinalis
·         Gagal napas sekunder
            Sumbatan lendir
            Atelektasis
            Pneumoni
            Emboli paru
·         Trombosis vena dalam
·         Disfungsi bladder dan bowel
            Priapism
            Retensi urin dengan overdistensi bladder
            Bladder dapat spastis atau flaccid
            Sfingter dapat spastis atau flaccid
            Dissinergi vesikosfingterik
            Impaksi fecal
            Overdistensi rektal
            Hemoroid
·         Dekubitus
Hati-hati penggunaan spine board yang lama untuk prosedur diagnostik atau terapi
·         Nutrisi yang tidak cukup
·         Disrefleks otonom
            Biasanya sekunder dari overdistensi bladder dan bowel
Usia dan penyakit kronis meningkatkan semua resiko dari cedera medulla spinalis
            COPD à  komplikasi paru
            ASCVD à komplikasi jantung + serebral
            Degenerative spinal Stenosis à komplikasi neurologis
            Hipertrofi prostat à Komplikasi urologi
            Osteoporosis à komplikasi ortopedik
(diterjemahkan dari Narayan RK, Wilberger JE. Povlishock JT. Neurotrauma.McGraw Hill. Hal.1230; 1234)


D.    Pemeriksaan fisik
  • Keadaan umum
Pada keadan cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, dan hipotensi.
2.      B 1(breathing)
Pada beberapa keadaan trauma sum-sum tulang belakang pada daerah servikal dan torakal hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan di dapatkan hal-hal berikut:
·         Inspeksi umum: didapatkan klien batuk peningkatan produksi sputum, sesak napas, pengguanaan otot bantu napas , dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat retraksi interkostalis, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada : di nilai penuh/tidak penuh, dan kesimetrisannya. Ketidaksimetrisannya mungkin menunjukkan atelektasis, lesi pada paru, obstruksi pada bronkus, fraktur tulang iga, dan pneumotoraks. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai : retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen, dan respirasi paradox(retraksi abdomen saat inspirasi). Pola napas ini dapat terjadi jika otot-otot interkosatal tidak mampu menggerakan dinding dada akibat adanya blok syaraf parasimpatis.
·         Palpasi: fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan di dapatkan apabila melibatkan trauma pada rongga thorak.
·         Perkusi: adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma pada thorak.
·         Auskultasi: bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi, pada klien dengan peningkatan produksi secret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering di dapat kan pada klien cedera tulang belakang dengan penurunan tingkat kesadaran atau koma.
Pada klien cedera tulang belakang dengan fraktur dislokasi vertebara lumbal dan protusi diskus invertebratalis L5 dan S1 pemeriksaan pada system pernapasan inspeksi pernapasan tidak memiliki kelainan . pada palpasi thorak di dapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi di dapatkan bunyi napas tambahan.

3.      B2(blood)
Pada system kardiovaskuler di dapatkan ranjatan (syok hipovolemik). Pada beberapa keadaan dapat di temukan TD menurun, brdikardi, berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi, bradikardi ekstremitas dingi n atau pucat.
4.      B3(brain)
Pengkajian otak meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral, dan pengkajian syaraf cranial.
·         Pengkajian tingkat kesadaran; tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan, pada keadan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat letargi,stupor, semikomatosa sampai koma.
·         Pengkajian fungsi serebral; status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas mootorik klien. Pada cedera tulang belakang biasanya status mental mengalami perubahan.
·         Pemeriksaan syaraf cranial;
-          Saraf I: biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
-          Saraf II: tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
-          Saraf III, IV, dan VI: biasanya tidak mengalami gangguan mengankat kelopak mata pupil isokor.
-          Saraf V: umumnya tidak terdapat paralisis pada otot wajahdan reflek kornea biasanya tidak ada kelainan.
-          Saraf VII: ppresepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
-          Saraf VIII: tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
-          Saraf IX dan X: kemampuan menelan baik,
-          Saraf XI: tidak ada atropi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
-          Saraf XII: lidah simetris indra pengecapan normal.
·         Pengkajian system motorik: inspeksi umum di dapatkan kelumpuhan pada ekstremitas bawah.baik bersifat paralisis , paraplegi, maupun quadriplegia.
-          Tonus otot: di dapatkan menurun sampai hilang.
-          Kekuatan otot: pada penilaian dengan mengguanakan tingkat kekuatan otot di dapatkan tingkat 0 pada ekstremitas bawah.
-          Keseimbangan dan koordinasi: di dapatkan mengalami gangguan karena kelumpuhan pada ekstremitas bawah.
·         Pengkajian reflek: reflek Achilles menghilang, dan reflek patella biasanya melemah.
·         Pengkajian system sensorik: gangguan sensabilitas pada klien cedera medulla spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
5.      B4 (bladder)
Trauma pada kauda ekuina klien mengalami hilangnya reflek kandung kemih yang bersifat sementara dan kien kemungkinan inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, ketidakmampuan untuk mengguanakan urinal karena control motorik dam postural.selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
6.      B5 (bowel)
Pada pemeriksaan refleks bulbokavernosa di dapatkan positif, menandakan adanya syok sinal.

7.      B6(bone)
Kaji warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori, dan mudah lelah menyebabkan masalah pada pola aktivitas dan istirahat.

E.     Pemeriksaan diagnostic
1.             Sinar X
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, danperubahan hubungan tulang pada vertebra lumbal. Sinar X multipe diperlukan untuk pengkajian paripurna struktur yang sedang diperiksa,menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur, dislokasi), kesejajaran,dan reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi (Brunner dan Suddarth,2001).

2.    Computed Tomography (CT Scan)
Pencitraan ini menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena(lumbal) dan dapat memperlihatkan cedera ligamen atau tendon. Teknik ini dapat mengidentifikasai lokasi dan panjangnya patah tulang di daerahyang sulit dievaluasi. Pemindaian CT selalu dilakukan pertama tanpa zatkontras, namun jika dengan zat kontras, maka akan diinjeksi melaluiintravena (Brunner dan Suddarth, 2001).

3.             Magnetic Resonance Imaging (MRI)MRI adalah
teknik pencitraan khusus, noninvasif, yang menggunakanmedan magnet, gelombang radio, dan komputer untuk memperlihatakanabnormalitas jaringan lunak seperti otot, tendon, dan tulang rawan. MRImempunyai potensial untuk mengidentifikasi keadaan abnormal serebraldengan mudah dan lebih jelas dari tes diagnostik lainnya. MRI dapatmemberikan informasi tentang perubahan kimia dalam sel, namun tidak menyebabkan radiasi sel (Brunner dan Suddarth, 2001).

4. Mielografi.
Merupakan penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga subarachnoidspinalis lumbal. Mielogram menggambarkan ruang subarachnoid spinaldan menunjukkan adanya penyimpangan medula spinalis atau sakus duralspinal yang disebabkan oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesilain. Zat kontras dapat menggunakan larutan air atau yang mengandungminyak. Metrizamid adalah zat kontras yang larut air, diabsorbsi olehtubuh, serta diekskresi melalui ginjal (Brunner dan Suddarth, 2001).


F.     Penatalaksanaan cedera medulla spinalis

Tujuan penatalaksanaan adalah mencegah cedera medula spinalis lumbal agar tidak berlanjut dan untuk mengobservasi gejala penurunan neurologik. Penatalaksanaan farmakoterapi dapat dilakukan dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon karena dapat memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam delapan jam pertama cedera. Dosis pemberian diikuti dengan infus kontinu yang dikaitkan dengan perbaikan klinis bermakna untuk pasien dengan cedera medula spinalis akut. Nalokson telah teruji dalam mengobati binatang dengan cedera medula spinalis lumbal, mempunyai efek samping minimal dan dapat meningkatkan perbaikan neurologik pada manusia. Terapi farmakologik yang masih dalam penyelidikan adalah pengobatan dengan steroid dosis tinggi, mannitol (untuk menurunkan edema), dan dekstran (untuk mencegah tekanan darah turun cepat dan memperbaiki aliran darah kapiler) yang diberikan dalam kombinasi, (Brunner dan Suddarth, 2001).
Adapun Latihan fisik untuk pasien dengan cedera medula spinalis, yaitu :
·         Memperbaiki mobilitas seperti kaki diposisikan terhadap papan kaki yang diberi bantalan untuk mencegah foot drop. Harus ada ruang antara ujung matras dan papan kaki untuk memungkinkan suspensi bebas tumit. Blok kayu pada kedua ujung matras mencegah matras mendorong papan kaki.
·         Membalikkan pasien  (logroll) setiap 2 jam indikasi pada pasien yang mengalami hipotensi akibat adanya lesi di atas ketinggian midtorakanl yang mengalami kehilangan kontrol aktivitas vasokontriktor simpatis.
·         Meningkatkan aktivitas pada pasien yang mengalami paralisis karena pemutusan komplet medulla. Makin cepat otot menjadi kuat, makin sedikit kemungkinan terjadi atrofi. Misalnya seperti berdiri, untuk mencegah perubahan osteoporosis yang terjadi pada tulang panjang.
·         Adanya program latihan otot-otot lengan,bahu, tangan, dada, tulang belakang, perut, dan leher pasien paralisis secara pasif karena pasien mengalami paralegia.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

bagus yah informasi blog nya,,,saluuut

Aisya Kholifah mengatakan...

makasih infonya, sangat membantu :)

Unknown mengatakan...

Bagaimana dilakuakn terapi?

Posting Komentar

 
;